Tuesday, October 27, 2009

Is that so hard to thankful ?

Saya merasa kurang. Saya merasa tidak puas. Saya merasa semuanya melelahkan. Saya melihat kehidupan orang-orang disekitar saya. Saya melihat betapa mereka begitu melimpah. Begitu bahagia. Begitu “terpenuhi”. Saya mulai membandingkan kehidupan saya dan mereka, baik secara sadar maupun tidak.

Terkadang saya merasa “menang” namun tak jarang saya juga merasa “kalah”. Sebuanya membuat saya menuntut lagi dan lagi. Semuanya membuat saya “wondering” lagi dan lagi. Saat saya ditimpa masalah, tidak jarang saya semakin memandang kehidupan orang lain, dan merasa kok saya malang banget ya…

But God is good. Dia mengetuk hati saya. Dia dengan begitu lembut memberi tahu saya bahwa saya beruntung. Bahwa saya “tidak kalah”. Bahwa kehidupan saya “telah diatur menurut rancangan-Nya yang luar biasa indah.” Dia selalu memberikan saya pengertian untuk menjadi lebih bijak dan membuka mata saya lebih lebar.

Contohnya saja beberapa minggu yang lalu saat saya mengalami suatu masalah yang membuat saya menjadi kesal, marah, sedih, dan kecewa. Masalah yang sama dan berulang dari masa lalu. Saya bertanya dalam hati “ Kenapa harus sekali lagi ya, Tuhan?” Ya ngga perlu dijelaskan panjang lebarlah apa masalah saya itu. Yang saya mau bagikan disini hanya mengenai hikmah dari peristiwa ini.

Saya mulai mendramatisir suasana. Saya bertanya pada Tuhan “ Tuhan, saya kan ga minta hal yang besar? Saya hanya minta hal yang sederhana. Saya ngga minta hal yang luar biasa. Saya hanya minta yang standar-standar saja.” Sebenarnya saya sadar masalah yang sedang saya hadapi ini sebenarnya bukan suatu masalah yang “luar biasa besar”. Mungkin bisa dibilang masalah hanya masalah sepele dan biasa saja. Memang menyakitkan. Memang membuat saya menangis. Tapi kalau dilihat sedikit lebih jauh, masalah ini ngga membunuh saya, tuh ! Tapi mungkin karena apa yang saya mau, terlihat hanya hampir menjadi kenyataan, namun ternyata GAGAL. Mungkin disitulah letak titik beratnya. Masalah ini kemudian merembes ke dalam otak saya, dan membuat semua masalah-masalah kecil lain menjadi makin besar. Bahkan membuat beberapa hal yang tidak bermasalah menjadi masalah.

Saya sempat menceritakan masalah saya ini ke beberapa teman dekat saya. (Keseringan sih saya ceritanya sama Wiwid, teman baik saya yang siap sedia menerima segala bentuk curhatan saya. Makasiiiyyy Wiwidddddd !!!! ). Mereka kemudian memberikan saya komentar begini “ Apa lagi sih yang kurang dari lo? Semua yang lo mau udah lo dapetin. Lo udah punya banyak hal yang bikin orang lain iri. Hidup lo udah bahagia. Masalah ini ga bisa dibandingkan dengan semua kebahagiaan yg udah lo dapet. Bla bla bla.” Mereka mulai mendeskripsikan apa saja yang sudah saya dapatkan, apa saja yang bisa saya banggakan, apa saja yang saya punya dan orang lain ga punya. Namun saya masih keras kepala. Mata saya belum juga terbuka. Saya masih tetap memilih untuk stay dalam masalah/kejadian itu.

Akhirnya, perlahan tapi pasti saya mulai bisa melihat dengan jelas. Waktu saya naik bus 46 dari Pelangi ke Cawang untuk mengunjungi adik saya sepulang kerja dan makan dengan teman-teman, saya bisa melihat di sepanjang jalan, banyak orang-orang yang tidur di jalanan, beberapa orang yang memungut sampah botol plastik dan memngumpulkannya ke karung besar yang dibawa di punggung, penjual-penjual minuman dan rokok yang mukanya lusuh banget, pengamen-pengamen cacat, penjual-penjual perintilan semacam gunting kuku, benang, cotton bud, dll.. Mereka semua pasti memiliki beban hidup yang jauh lebih berat dari masalah yang sedang saya hadapi. Mereka Harus bekerja berpeluh dibawah matahari, mengesampingkan polusi ibukota yang parah, melupakan rasa lelah dan sakit, dll. Kalau dipikir-pikir uang yang mereka dapet juga mungkin ga cukup buat makan mereka dan keluarga. Saya jadi malu. Saya yang sudah wisuda tepat waktu, dapet kerja sebelum saya lulus kuliah, mendapatkan cita-cita auditor saya di kantor akuntan yang punya reputasi. Jangankan banting tulang dibawah matahari yang menyengat ataupun asap jalanan yang “ngga banget.” Saya malah punya kantor yang dirancang anti gempa (katanya), ber-AC, dingin, nyaman, dapet laptop baru dari kantor, dan banyak lagi yang plus-plus lainnya. Tapi kenapa saya masih merasa kurang ya ?Jawabannya karena saya selalu menempatkan diri saya dalam “kebutaan”. Saya sangat nyaman untuk selalu menuntut Tuhan memberikan apa yang saya mau. Saya terlalu senang menuntut Dia melakukan seperti apa yang saya mau.

Sampai suatu saat saya mulai mengerti. Tuhan mau saya menyerahkan semua yang saya minta, baik hal yang kecil maupun yang besar, baik hal yang standar maupun yang luar biasa. Dalam segala hal intinya! Tuhan mau kalau saya ga perlu ambil pusing untuk menjadi “Asistennya” dalam mengerjakan bagian-bagian-Nya. Tuhan mau saya cukup mengerjakan bagian saya, dan membiarkan Tuhan mengerjakan bagiannya.

2 comments:

  1. Classic!
    But I did it to so many time..
    Bahkan hampir setiap saat, makanya gw seneng menggunakan kendaraan umum
    Lo bisa liat semua bentuk manusia
    Yang gak punya hati: pura2 tidur saat ada wanita hamil berdiri
    Real Gentelman: memilih seorang memangil seorang cewe untuk datang dan duduk di kursi tersedia dibanding dirinya
    Great!
    Lo musti banyak2 ketemu bnyk orang dr segala kalangan
    It's make u thanks to god everytime

    ReplyDelete