Tuesday, October 27, 2009

Patah hati

Beberapa hari yang lalu saya dan dua orang teman kantor saling bercerita mengenai beberapa hal. Dan salah satu hal yang kami bahas adalah mengenai “patah hati”. Kami membahas hal ini karena salah satu dari teman saya ini baru saja mengakhiri hubungan dengan pacarnya.

Kami sempat membahas mengenai berapa lama sih biasanya kita terkungkung dalam rasa sakit pasca patah hati? Teman saya di A menjawab, ia sudah tiga bulan ini mengalami rasanya terkunkung dalam rasa sakit dan sekarang dia udah mulai melupakan rasa sakit itu, terus teman saya yang B, menjawab "dua hari. doang tuh". Lalu dia bertanya balik kepada saya “Kalo elo, Mel?”

Teman saya si A langsung mengambil jatah menjawab pertanyaan itu tanpa izin saya. Dia berkata, “ Kalo si Melsa mah, lama banget… Hahahahaha.” Dia lalu tertawa ngakak. Sial. Dia menertawakan saya. Huh

Patah hati. Dan kemudian menata hati. Dua hal yang saya yakin banget pernah dialami oleh kita semua. Bahkan mungkin bukan cuma sekali tapi dua kali, tiga kali, atau lebih. Masalahnya adalah berapa lama kita ada dalam suasana sakit?

Menurut saya wajar saja kalau kita menangis dan sedih. Tapi masalahnya, mau berapa lama kita begitu? Saya merasa kita semua pasti maunya cuma sebentar saja merasakan rasanya sakit. Ga perlu berminggu-minggu,, apalagi berbulan-bulan, atau malah bertahun-tahun? Oh no!!

Saya sempat bingung juga sama teman saya yang sudah setahun lebih putus dari pacarnya. Dia masih aja terus mikirin mantannya itu, nangisin mantannya itu, mereka-reka apakah mantannya itu merasakan kepedihan yang sama dengan apa yang dia rasakan?

Menurut saya, sebenarnya salah satu hal yang membuat kita makin susah untuk keluar dari zona sakit hati adalah karena kita begitu terbuai sama yang namanya “memori” atau nama lainnya “ kenangan”. Tak jarang kita, baik sengaja maupun tidak, membawa diri kita, membawa pikitran kita, membawa otak kita, untuk me-rewind kenangan-kenangan indah saat bersama mantan. Kita membayangkan bagaimana dia dulu sering melakukan hal-hal romantis buat kita, bagaimana dulu dia suka memberikan pujian-pujian kepada kita, bagaimana kita dulu menghabiskan waktu sama-sama, masak bareng, nyuci motor bareng (iya ! ada kok yang pacarannya gini), bagaimana kita bisa nangis di pelukan mantan terus merasa plong, dll.

Semuanya benar-benar indah. Semuanya benar-benar manis. Kita terbuai lagi. Kita ingin merasakan semua hal itul lagi. Kita ga bisa melepas pikiran kita dari semua memori itu. Dan secara ga sadar, kita bukan cuma nangis lagi, tapi kita jadi makin “terikat” sama dia.

Yes, it takes time ! But how long ? Menurut saya masih banyak hal lain yang jauh lebih penting selain mengurusi sakit hati. Jadi, menurut saya lebih baik sih, kita ga usah terlalu sering deh me-rewind yang namanya kenangan manis dulu. Tahan sajalah diri kita untuk itu. Perlahan tapi pasti, coba kita melihat kedepan. Siapa tahu nanti kita dapet pengganti yang jauh lebih baik dibanding sang mantan tersayang.

Is that so hard to thankful ?

Saya merasa kurang. Saya merasa tidak puas. Saya merasa semuanya melelahkan. Saya melihat kehidupan orang-orang disekitar saya. Saya melihat betapa mereka begitu melimpah. Begitu bahagia. Begitu “terpenuhi”. Saya mulai membandingkan kehidupan saya dan mereka, baik secara sadar maupun tidak.

Terkadang saya merasa “menang” namun tak jarang saya juga merasa “kalah”. Sebuanya membuat saya menuntut lagi dan lagi. Semuanya membuat saya “wondering” lagi dan lagi. Saat saya ditimpa masalah, tidak jarang saya semakin memandang kehidupan orang lain, dan merasa kok saya malang banget ya…

But God is good. Dia mengetuk hati saya. Dia dengan begitu lembut memberi tahu saya bahwa saya beruntung. Bahwa saya “tidak kalah”. Bahwa kehidupan saya “telah diatur menurut rancangan-Nya yang luar biasa indah.” Dia selalu memberikan saya pengertian untuk menjadi lebih bijak dan membuka mata saya lebih lebar.

Contohnya saja beberapa minggu yang lalu saat saya mengalami suatu masalah yang membuat saya menjadi kesal, marah, sedih, dan kecewa. Masalah yang sama dan berulang dari masa lalu. Saya bertanya dalam hati “ Kenapa harus sekali lagi ya, Tuhan?” Ya ngga perlu dijelaskan panjang lebarlah apa masalah saya itu. Yang saya mau bagikan disini hanya mengenai hikmah dari peristiwa ini.

Saya mulai mendramatisir suasana. Saya bertanya pada Tuhan “ Tuhan, saya kan ga minta hal yang besar? Saya hanya minta hal yang sederhana. Saya ngga minta hal yang luar biasa. Saya hanya minta yang standar-standar saja.” Sebenarnya saya sadar masalah yang sedang saya hadapi ini sebenarnya bukan suatu masalah yang “luar biasa besar”. Mungkin bisa dibilang masalah hanya masalah sepele dan biasa saja. Memang menyakitkan. Memang membuat saya menangis. Tapi kalau dilihat sedikit lebih jauh, masalah ini ngga membunuh saya, tuh ! Tapi mungkin karena apa yang saya mau, terlihat hanya hampir menjadi kenyataan, namun ternyata GAGAL. Mungkin disitulah letak titik beratnya. Masalah ini kemudian merembes ke dalam otak saya, dan membuat semua masalah-masalah kecil lain menjadi makin besar. Bahkan membuat beberapa hal yang tidak bermasalah menjadi masalah.

Saya sempat menceritakan masalah saya ini ke beberapa teman dekat saya. (Keseringan sih saya ceritanya sama Wiwid, teman baik saya yang siap sedia menerima segala bentuk curhatan saya. Makasiiiyyy Wiwidddddd !!!! ). Mereka kemudian memberikan saya komentar begini “ Apa lagi sih yang kurang dari lo? Semua yang lo mau udah lo dapetin. Lo udah punya banyak hal yang bikin orang lain iri. Hidup lo udah bahagia. Masalah ini ga bisa dibandingkan dengan semua kebahagiaan yg udah lo dapet. Bla bla bla.” Mereka mulai mendeskripsikan apa saja yang sudah saya dapatkan, apa saja yang bisa saya banggakan, apa saja yang saya punya dan orang lain ga punya. Namun saya masih keras kepala. Mata saya belum juga terbuka. Saya masih tetap memilih untuk stay dalam masalah/kejadian itu.

Akhirnya, perlahan tapi pasti saya mulai bisa melihat dengan jelas. Waktu saya naik bus 46 dari Pelangi ke Cawang untuk mengunjungi adik saya sepulang kerja dan makan dengan teman-teman, saya bisa melihat di sepanjang jalan, banyak orang-orang yang tidur di jalanan, beberapa orang yang memungut sampah botol plastik dan memngumpulkannya ke karung besar yang dibawa di punggung, penjual-penjual minuman dan rokok yang mukanya lusuh banget, pengamen-pengamen cacat, penjual-penjual perintilan semacam gunting kuku, benang, cotton bud, dll.. Mereka semua pasti memiliki beban hidup yang jauh lebih berat dari masalah yang sedang saya hadapi. Mereka Harus bekerja berpeluh dibawah matahari, mengesampingkan polusi ibukota yang parah, melupakan rasa lelah dan sakit, dll. Kalau dipikir-pikir uang yang mereka dapet juga mungkin ga cukup buat makan mereka dan keluarga. Saya jadi malu. Saya yang sudah wisuda tepat waktu, dapet kerja sebelum saya lulus kuliah, mendapatkan cita-cita auditor saya di kantor akuntan yang punya reputasi. Jangankan banting tulang dibawah matahari yang menyengat ataupun asap jalanan yang “ngga banget.” Saya malah punya kantor yang dirancang anti gempa (katanya), ber-AC, dingin, nyaman, dapet laptop baru dari kantor, dan banyak lagi yang plus-plus lainnya. Tapi kenapa saya masih merasa kurang ya ?Jawabannya karena saya selalu menempatkan diri saya dalam “kebutaan”. Saya sangat nyaman untuk selalu menuntut Tuhan memberikan apa yang saya mau. Saya terlalu senang menuntut Dia melakukan seperti apa yang saya mau.

Sampai suatu saat saya mulai mengerti. Tuhan mau saya menyerahkan semua yang saya minta, baik hal yang kecil maupun yang besar, baik hal yang standar maupun yang luar biasa. Dalam segala hal intinya! Tuhan mau kalau saya ga perlu ambil pusing untuk menjadi “Asistennya” dalam mengerjakan bagian-bagian-Nya. Tuhan mau saya cukup mengerjakan bagian saya, dan membiarkan Tuhan mengerjakan bagiannya.

Saturday, October 24, 2009

teringat akan si Jugul

Bangun pagi saya kali ini 'diiringi' senyum-senyum yg ga jelas. Masalahnya semalam saya bermimpi tentang seseorang yang sebenarnya sudah "out of my life".. Seseorang yang biasa saya panggil Jugul karena sikap keras kepalanya. Jugul, dalam bahasa batak artinya "bandel."

Seseorang itu adalah someone yang pernah menjadi seseorang yg spesial buat saya dua tahun yang lalu. Dia adalah sosok yang selalu menemani saya selama kurang lebih dua bulan lamanya. Sikapnya yang lucu membuat saya begitu nyaman bersamanya. Membuat saya hampir selalu tertawa bahagia saat sama-sama dengan dia. Dia sosok yang "bagaikan cermin" buat saya. Kalau saya melihat dia,, dia seperti bayangan saya sendiri di depan cermin. Kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari sama-sama keras kepala, sama-sama batak, sama-sama gengsian, sama-sama nyolot, sama-sama manja, sama-sama anak akuntansi, dan banyak lagi sama-sama yang lain.. Sosok yang suka saya panggil "abang" dan memanggil saya "adek" kalau lagi pengen bermanja-manja ria.

Dia sosok yang kalau marah suka mengeluarkan kata-kata pedas yang membuat saya sakit hati. Dia sosok yang kalau saya bercerita mengenai permasalahan saya selalu memberikan statement balik yang tidak saya harapkan. Saya masih ingat saat saya pernah curhat kalau saya merasa UAS saya gagal dan saya curhat kepadanya begini: "Tadi UAS gue gagal. Parah. Gue tiba-tiba blank gitu.. Hadooohh gimana ya?? Gue takut ga lulus niyy.." Dan dia dengan santainya menjawab :"Makanya kalau mau UAS, ya belajar yang serius dong..."

Gleeeekkkk... Saya cuma bisa menelan ludah mendengar hal itu. Bete? So pasti.. Tapi lama-kelamaan saya ngerti kalau dia orangnya terlalu rasional.. Tapi bukan berarti dia ga punya hati.. Saya pernah sakit suatu hari. Dan dia tanpa gue minta apa-apa, langsung datang bawa bubur ayam dan jus strawberry kesukaan saya. Terharu ? Ya iyalah...

Hmmmm jadi pengen tau gimana kabarnya dia sekarang .. Bukan karena apa-apa. Cuma saja saya jadi penasaran saja..

Thursday, October 22, 2009

merengkuh cita-cita

Siang tadi saya dan teman2 kantor saya sempat mengobrol mengenai prospek masa mendatang kami di kantor. Sempat juga kami berbincang mengenai beberapa perusahaan dan kantor-kantor pemerintah yang kami coba masuki.

Hmmm,, sebenarnya saya sangat bersyukur memiliki sebuah pekerjaan di kantor saya yang sekarang. Memang saya baru masuk kantor saya ini tiga bulan yang lalu. Namun saya bahkan bisa bisa merasa sangat puas dengan apa yang saya dapatkan dari kantor saya sekarang. Bagaimana tidak ? Pekerjaan saya sebagai seorang auditor merupakan impian saya sejak saya masih kuliah, belum lagi ditambah kantor saya merupakan salah satu kantor akuntan yang reputasinya sudah ga perlu diraguakn lagi. Bukannya saya sombong, tapi saya hanya mau menunjukkan sisi dimana saya sebenarnya sangat bahagia, bersyukur, puas, dan bangga atas pekerjaan saya yang sekarang.

Namun jika ditilik lebih lanjut, sebenarnya saya memiliki sebuah cita-cita yang saya simpan dan sebenarnya sangat ingin saya dapatkan. Bagi sebagian orang, cita-cita saya ini dibilang sangat idealis dan sedikit "nggak berarti". Malah beberapa orang yang mengetahui cita-cita saya ini, berkata "Mel, kayaknya apa yang lo dapetin sekarang jauh lebih bernilai daripada cita2 lo yang sedikit ga realistis itu."


Ga realistis. Ga masuk akal. Ga bisa menunjang kehidupan. Begitu rata-rata orang menanggapi cita-cita saya ini. Sebenarnya cita-cita saya sangat sederhana : menjadi seorang guru. Ya guru. Guru di sebuah desa terpencil di suatu tempat di Indonesia ini. Mungkin di Papua. Mungkin di Kalimantan. Atau mungkin saja di kampung/desa mana saja...


People call it passion ! Ya, memang ini hasrat saya.. Hasrat untuk memberikan sesuatu yang saya punya buat orang lain. Sesuatu yang kecil tapi berguna dan dapat membahagiakan orang lain.

Saya ga munafik. Saya memiliki beberapa ketakutan tersendiri juga dalam mengejar cita2 ini. Saya takut ini merupakan hasrat sesaat saja. Saya takut ketika saya menjalani cita-cita saya ini, ternyata keadaannya ga seindah yang saya bayangkan. Saya takut kalau saya memaksakan untuk menjalani cita-cita saya ini, saya ga akan bisa memberikan kebanggaan bagi orangtua saya, termasuk tidak dapat memberikan "perintilan finansial" kepada mereka.
Ketakutan2 saya ini masih ditambah "ketidaksetujuan" dari orang-orang di sekitar saya. Makin jauhlah cita-cita saya ini... Tapi saya ga bisa bohong... Saya masi mengiginkan cita2 ini... Hasrat saya menjadi guru benar2 besar.

Sebelum saya lulus kuliah dan bekerja di kantor saya yang sekarang ini, saya sempat menjadi seorang guru privat yang mengajarkan bahasa Indonesia ke seorang ekspatriat yang baru datang ke Indonesia. Saya menemukan kepuasan disana. Bukan karena gajinya yang memang menggiurkan (walaupun tidak bisa diingkari, gajinya merupakan salah satu faktor yang membuat saya semangat ngajar), tapi lebih karena saya memang mencintai pekerjaan saya ini. Saya mendapatkan panduan dari ex-kantor saya bagaimana caranya mengajar. Namun saya ngga terlalu menurutinya. Saya memiliki dan mengajar dengan cara saya sendiri. Saya ingat bagaimana saya sehari sebelumnya harus menyiapkan materi,, membuat kuis kecil untuk pertemuan berikutnya,, dan membuat topik diskusi yang bisa membuat murid saya bisa belajar dengan cepat dan menyenangkan. Saya sangat antusias melakukan semuanya !!

Hmmmmm,,, mungkin memang saya ngga bakalan bisa menjadi guru di sebuah perkampungan kecil seperti yang sangat saya dambakan. Tapi mungkin saya masih bisa menggapai mimpi saya untuk menjadi guru nantinya.. Ya semua jalan ini saya serahkan kepada Tuhan saja... Sebagaimana saya dulu pernah sangat memimpikan menjadi seorang auditor sukses di sebuah kantor akuntan big four, dan bagaimana kemudian saya mengubur mimpi saya itu karena satu dan lain hal, namun bagaimana akhirnya Tuhan memberikan saya cita-cita saya yang sudah terkubur itu: menjadi auditor di sebuah kantor akuntan big four !! Ya, Dia memang hebat !! Dia punya rancangan dan jalan-Nya sendiri. Dia lebih mengetahui apa yang baik buat saya.
Bagi-Mu saja ya, Tuhan.. Saya hanya mau merengkuh cita-cita saya ini,, merengkuhnya dalam hati dan gengaman saya. Jika memang saya harus melepasnya ataupun meraihnya,, saya tahu,, itu hanya karena-Mu..

Wednesday, October 21, 2009

Preface

Just call me Vista as the way people call me when I was a child .. Vista merupakan nama semasa saya kecil. Nama yang makin meredup seiring dengan meninggalnya opung saya tersayang yang memberikan nama Vista kepada saya. Dulu keluarga dari pihak ayah saya (keluarga besar Situmeang) semuanya memanggil saya dengan nama Vista. Entah mengapa setelah sang pemberi nama tutup usia,, nama saya jadi ikutan tutup usia. Saat ini hanya sesekali saja saya dipanggil Vista oleh orang-orang terdekat saya.

Saya iseng aja membuat blog ini.. Mungkin blog ini bakalan menampung banyak banget tulisan2 saya nantinya,, atau mungkin saja blog ini ga keurus sama sekali nantinya,, hohohohoho.. Kita lihat saja lah nanti.

Sebelumnya saya sudah pernah buat blog tapi kemudian saya hapus karena satu dan lain hal.. Sekarang tiba2 saya jadi pengen berbagi lagi lewat blog ke orang2... Saya suka banget nulis.. Tapi selama ini saya nulisnya di buku pribadi saya.. Di kampus kalau males dengerin dosen,, saya pasti nulis,, di kantor kalau lagi ga ada kerjaa saya pasti nulis,, di waktu senggang kalau saya lagi ga ngapa2in saya pasti nulis,, dan yang pasti kalau saya lagi pengen nulis saya pasti akan langsung nulis..


-vista situmeang-