Wednesday, July 14, 2010

Belajar dari Suasana di Sebuah Poli Bedah Saraf

Selalu ada cara buat bersyukur..

Kemarin lusa, tepatnya hari Senin, setelah saya bolak balik Karawaci-Benhil-Pulogadung-Benhil-Slipi-Karawaci, saya (dengan sisa2 tenaga yg ga seberapa), saya sampai di sebuah rumah sakit swasta di daerah Karawaci untuk nemenin Tante saya yg dari Kalimantan buat konsultasi sama dokter spesialis bedah syaraf.

Jam 5 sore saya mulai "nongkrong" di rumah sakit. Untung saja suasana rumah sakitnya nyaman dan banyak sofa-sofa besar dan empuk di dalamnya. Bisa buat tidur-tiduran lah.. Jam 6 lewatan, saya sama tante makan malam dan setelahnya saya dan tante kembali melanjutkan kegiatan menunggu giliran konsultasi.

Alamaakk,,, lama kali punnnn.. Beberapa jam kemudian saya memutuskan buat jalan-jalan ke lantai bawah.. Ternyata lagi ada live piano performance di lobi. Yup saya memutuskan buat nonton pertunjukan piano itu sambil teleponan untuk menghilangkan rasa jenuh yang mulai berasa. Ga lama, pertunjukan piano selesai dan batere handphone saya low bat. Akhirnya saya memutuskan untuk balik lagi ke lantai 6, poli bedah syaraf, buat nemenin tante nunggu giliran..

Saya duduk santai sambil ngobrol-ngobrol sama pasien-pasien lain. Ga sengaja saya liat seorang anak kecil, taksiran saya kira-kira berumur 2 tahun. Lucu banget. Dia main sama mama dan papanya. Gelagatnya tenang dan ga hiperaktif. Pokonya dia cuma becanda sama mama dan papanya saja. Saya perhatikan lebih jauh, terlihat kalau dia mengidap hydrocephallus. Kepalanya membesar. Saya iba. Saya mikir: "Di usianya yang masih sangat kecil, dia sudah begitu...." Entah kenapa saya ga bisa melepaskan perhatian saya dari anak kecil itu. Saya melihat dia ga terlalu aktif seperti layaknya anak-anak kecil lainnya yang biasanya ga betah menunggu lama. Yang biasanya pasti jalan-jalan, atau mungkin lari-larian, merengek minta pulang, teriak-teriak atau menangis bosan karna kelamaan menunggu. Tapi anak kecil ini beda. Dia sabar menunggu sambil becanda sama mama papanya.. Hati saya makin terenyuh. Lalu tibalah giliran dia untuk masuk ke ruang dokter. Begitu dia selesai, saya lihat untuk pertama kalinya dia menunjukkan sisi anak-anaknya. Dia menangis sangat kencang begitu keluar ruang dokter. Papanya menggendong dia sambil berusaha menenangkannya. Saya nangis.. Di pikiran saya, pastilah dia habis terapi. Jadi mungkin dia kesakitan atau ketakutan...

Saya liat jam.. Jam 10 malam. Terus liat jam lagi, jam 10 lewat 20. Terus liat jam lagi, jam 10 lewat 35, dan begitu seterusnya. Sampai kira-kira jam 11 malam, saya dan tante disuruh pindah tempat duduk karna bentar lagi giliran kami. Di tempat yang baru ini, saya melihat pemandangan lain.

Seorang ibu, dengan wajahnya yang keras dan tanpa senyum. Tidak seperti pasien-pasien lain yang saling bercerita dan bertukar informasi, beliau hanya sibuk mengurusi anaknya, yang menurut saya kira-kira kalau normal, sekitar SMP kelas 1. Tapi anaknya ga seperti anak-anak pada umumnya. Anaknya duduk di kursi roda. Kedua kakinya kecil. Dan fisiknya sepertinya kurang sempurna. Kepalanya naik-turun terus. Ibunya terus mencoba mengajak anaknya ini berkomunikasi sampai-sampai tidak berniat untuk bercerita kepada pasien-pasien lain. Saya melihat bagaimana beliau, dengan begitu sabar dan (menurut saya) berusaha sekuat tenaga untuk terlihat kuat, untuk menemani anaknya (yang menurut saya) ga terlalu memberikan respon besar kepada beliau. Lagi-lagi, saya jadi sedih. Saya sedih melihat keadaan anaknya dan saya juga trenyuh (dan salut) melihat ibunya.. Ibunya sempat melihat saya sebentar. Mungkin saya ke-gap merhatiin mereka. Tapi dia ga ambil peduli. Dia hanya melihat saya sekilas lalu sibuk memperhatikan anaknya lagi, dengan wajahnya yang tegar, keras, sabar, namun penuh kasih... Hanya sekali saya lihat senyum di wajahnya. Sekali saja, saat nama anaknya dipanggil untuk masuk ke ruang dokter. Dia, dengan begitu tangguhnya, dengan begitu penuh kasihnya, menggendong anaknya dari kursi roda. Dia membopong anaknya masuk ruang praktek. FYI, beliau punya tubuh yang kurus, namun terlihat tidak kesusahan menggendong putranya yang kira-kira kelas satu SMP.

Saya melihat bagaimana banyak orang berjuang begitu keras untuk mendapatkan sesuatu. Untuk mendapatkan kesembuhan. Atau untuk mendapatkan suatu keadaan yang lebih baik (walaupun tidak sembuh total). Saya melihat bagaimana mereka begitu berusaha sekuat tenaga bahkan dengan semua keterbatasan mereka.

Saya malu banget.. Saya malu banget yang punya keadaan fisik yang sempurna, terkadang malah males-malesan untuk mau berusaha sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu...

2 comments: