Mon père merupakan bahasa prancis yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “ayah saya”. Di notes ini saya menyebutnya ‘bapak’, karena demikianlah saya memanggil beliau.
Tanggal 20 Desember 2009 nanti bapak saya genap berusia 55 tahun. Hal ini berarti bahwa beliau resmi memasuki masa pensiun terhitung tanggal tersebut. Usia 55 tahun telah membuat beliau menjadi sosok yang sangat saya kagumi. Kalau saya flash back kira-kira 18 tahun lalu, saat saya berusia lima tahun, saya masih ingat betul keadaan keluarga saya yang belum seperti sekarang. Waktu itu kami masih tinggal di Jl. Tanjung Raja No. 47, Kenten, Palembang. Rumah saya belum berlantai keramik. Masih semen biasa. Ya semen hitam! Bapak saya juga masih tergolong pegawai rendahan saat itu. Yang saya tahu, saya dan keluarga hidup sangat bahagia saat itu (semoga sampai selamanya bahagia…). Saat itu berarti bapak saya masih berusia 37 tahun. Umur yang bisa dibilang masih relatif muda. Namun beliau sudah menunjukkan tanggung jawabnya yang besar bagi kami sekeluarga.
Mama saya waktu itu masih meneruskan kuliahnya ke jenjang S1 dan mengambil kuliah dari sore sampai malam hari. Rutinitas kami dulu begini : Pagi hari, saya dan kakak saya, Reni, diantar sekolah oleh Bapak naik vespa. Kami bonceng tiga dan biasanya saya yang duduk ditengah. Tangan kecil saya memegang erat pinggang bapak yang kokoh. Dan kalau ternyata hari lagi hujan maka bapak akan memakai jas hujan birunya yang besar untuk menaungi dirinya, saya, dan kakak saya sekaligus. Kalau sudah begitu, saya dan kakak saya tidak bisa melihat jalanan dan tahu-tahu kami sudah sampai di sekolah saja. Lucu juga kalau mengenang masa itu. Siang harinya saya dan kakak saya pulang sekolah bersama. Lalu kami menghabiskan hari bersama mama sampai sore hari.
Saat hari sudah mulai sore, mama harus berangkat kuliah. Dan saat inilah Bapak mengambil peran mengurusi anak-anaknya. Seperti anak-anak lainnya, saya dan kakak saya senang sekali main bersama anak-anak tetangga seumuran kami sampai maghrib. Dan jika sudah maghrib, bapak saya memanggil saya dan kakak saya untuk pulang dan mandi serta makan malam. Saya ingat juga bagaimana Bapak saya yang sifatnya pembersih itu sering sekali membersihkan telinga saya sore-sore. Jika kegiatan itu berlangsung, saya pasti berada dalam posisi tiduran di pangkuan Bapak. Ohya Bapak juga punya kebiasaan menggunting kuku anak-anaknya yang juga biasa dilakukan di sore hari setelah Beliau pulang kerja .Hmmmm,, saya jadi kangen beliau …
Di jaman saya SD,, saya termasuk anak yang aktif dan keras kepala. Keras kepala ini saya yakin sekali saya dapat dari Bapak saya. Saya senang sekali bermain dan sedikit enggan belajar. Hal ini semakin parah karena kakak saya, Kak Reny, merupakan anak yang kalem dan selalu meraih juara satu di sekolah. Makin “kebanting” lah saya. Bapak saya sering marah sama saya dan akibatnya saban sore Beliau suka memanggil saya untuk berdiri di hadapannya dan menyuruh saya menyebutkan dan mengulang kembali pelajaran saya di sekolah. Paling sering sih, saya disuruh mengucapkan perkalian satu sampai sepuluh. Jika saya tidak bisa, Beliau biasanya menjadi marah besar…
Sikap keras kepala antara saya dan Bapak saya membuat kami sama-sama suka berselisih karena kami saling teguh membela ide kami masing-masing. Akibatnya semasa kecil, saya sedikit merasa ada jarak dengan Beliau. Bukan dalam konotasi bermusuhan atau konotasi jelek lainnya. Kami hanya menjadi “kurang mesra” saja. Berbeda dengan hubungan saya dengan mama yang sangat akrab bahkan sering becanda dan ”gokil bareng.” Tapi satu hal yang pasti, saya menyayangi Bapak saya sama seperti saya menyayangi Mama saya. Walaupun kami sering kukuh mempertahankan pemikiran kami masing-masing, namun tak jarang Beliau akhirnya mengalah demi saya dan menuruti pemikiran dan keinginan saya yang terkadang ‘sedikit’ menyusahkan dan mungkin menjengkelkan buatnya.
Cerita berlanjut sampai kira-kira sembilan tahun lalu saat saya SMP. Saya tidur satu kamar dengan kak Reny. Seperti biasa, kalau dua perempuan yang seumuran bersama, pasti bawaannya heboh cerita-cerita. Mulai dari cerita seputar sekolah, cerita gosip, cerita cowok ganteng di sekolah (saya kan satu sekolah sama kakak saya. Cuma beda satu tahun saja), sampai ke cerita-cerita lain yang menurut kami enak buat diomongin. Tidak jarang kami tidur larut karena asyik cerita dan ketawa-ketawa. Dan akibatnya kami sering dimarahin mama dan bapak dan disuruh untuk segera tidur. Tapi pernah suatu malam saya susah tidur. Malam itu saya ingat betul saya mendengar suara pintu kamar saya dibuka. Dan saya sempat mengintip yang membuka pintu adalah Bapak saya. Beliau melakukan suatu hal kecil yang membuat saya tersentuh. Beliau menyelimuti saya lalu mengusap rambut saya dengan lembut kemudian keluar dari kamar. Kejadian itu benar-benar membuat saya menyadari bahwa saya memiliki Bapak yang benar-benar sayang sama saya.
Selanjutnya di bulan Juli kemarin saat saya pulang ke Palembang untuk liburan. Di malam terakhir sebelum saya pulang ke Jakarta, Bapak sempat memimpin doa makan malam dan menyebutkan suatu kalimat yang menurut saya adalah suatu kalimat yang paling indah yang saya dengar dari Beliau. Tidak perlu saya beritahu apa perkataan beliau dalam doa itu. Yang pasti saya merasa sangat tersentuh mendengar doanya sampai-sampai saya harus berusaha sebisa saya menghapus air mata saya sebelum doa yg diucapkan Bapak selesai atau saya akan ke-gap sedang menangis.
Sekarang ini fisik Bapak memang tidak setangguh dulu. Ia kini mulai terenggus usia. Dua tahun belakangan Bapak mulai rutin control ke Rumah Sakit Harapan Kita. Bapak juga mulai berpantang untuk beberapa kegemarannya seperti rokok (kalau masalah ini, Bapak masih suka bandel bahkan masih suka curi-curi menghisap rokok) dan makanan-makanan berlemak. Namun jiwanya masih sebening embun. Ia masih sama seperti Bapak saya dua puluh tahun lalu yang mengajari saya mengenai kesederhanaan, tanggung jawab, kepasrahan kepada Tuhan, dan pengorbanan. Dia akan tetap gagah di mata saya saat ini dan sampai kapan pun. Dia akan tetap menjadi lelaki yang sempurna di mata saya sampai kapan pun.
Saya tahu beliau telah berjuang begitu keras untuk saya dan keluarga. Saya yakin beliau pasti pernah menangis di balik bahunya yang kokoh itu. Dan setiap kali saya membayangkan ini, saya hanya mampu jadi terharu dan merasa sangat bersyukur. Saat ini yang benar-benar ingin saya lakukan adalah mencetak notes saya ini, memasukkannya ke dalam amplop, dan memberikannya langsung kepadanya. Saya ingin memeluk beliau dan mencium beliau sambil merasakan bekas cukurnya yang agak kasar saat pipi saya menyentuh pipi Beliau.
Hmm,, sebelum saya menyudahi notes saya ini, saya hanya mau bilang kepada semuanya yang membaca : kita sudah sepantasnya bersyukur memiliki seorang ayah yang tangguh dan mau berjuang demi keluarga kita! Kita sudah sepantasnya bersyukur, entah kita memiliki sosok ayah baik yang lemah lembut maupun keras hati! Karena kita tahu seperti apapun Bapak kita, merekalah yang telah nyata-nyata berjuang untuk kita dan mencintai kita tanpa pamrih .. Remercier, Mon Père... Je t ‘aime, Mon Père..
-untuk Bapak saya dan semua Bapak di bumi ini-
Vista Situmeang 21.11.09
Saturday, November 21, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment